Tinta Media: Tanya Jawab
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 April 2024

Politik Industri Negara Khilafah

Soal:

Tinta Media - Apa makna “industri dengan jenis-jenisnya dibangun di atas asas politik perang”? Misal apa yang dinyatakan di dalam Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukmi wa al-Idârah: “Industri dengan jenis-jenisnya wajib dibangun  di atas asas politik perang.” Adakah contohnya?

Jawab:

Jawabannya ada pada Kitab Ajhizah halaman 108 file word. Demikian juga pada Kitab Muqaddimah ad-Dustûr (I/132) file word. Berikut kutipannya:

Karena Daulah Islamiyah merupakan negara yang mengemban dakwah Islamiyah melalui metode dakwah dan jihad, maka negara harus selalu siap untuk melakukan jihad. Ini menuntut industri di negara, industri berat atau ringan, dibangun di atas asas politik perang. Dengan begitu, jika diperlukan untuk mengubahnya ke industri yang menghasilkan industri perang dengan jenis-jenisnya, maka mudah bagi negara melakukan hal itu kapan saja diinginkan.

Oleh karena itu semua industri di dalam Negara Khilafah wajib dibangun di atas asas politik perang. Semua pabrik, baik yang menghasilkan industri berat atau menghasilkan industri ringan, dibangun di atas asas politik ini. Tujuannya untuk memudahkan pengalihan produksinya ke produksi perang kapan saja negara memerlukan hal itu.

Artinya, semua pabrik di dalam Negara Khilafah harus dibuat ke arah yang sedemikian rupa memungkinkan roda produksinya dapat dengan mudah dialihkan untuk menghasilkan produk-produk yang berkaitan dengan aspek militer yang tidak diproduksi dalam kondisi normal. Misalnya, jika ada pabrik kendaraan sipil maka harus dibangun sedemikian rupa yang memungkinkan dari aspek teknis dan praktis untuk mengalihkan roda produksi di situ untuk membuat kendaraan militer yang digunakan oleh negara dalam perang melawan orang-orang kafir. Misal lain, jika ada pabrik pakaian, maka harus dibuat sedemikian rupa yang memungkinkan produksinya dapat dengan mudah dialihkan menjadi pembuatan pakaian militer. Begitulah. Kebijakan (politik) pembangunan pabrik didasarkan pada politik perang dalam hal roda produksi, bangunan pabrik, dan dalam kemungkinan mencegah pemogokan di dalamnya, juga dalam kemungkinan bekerja di dalamnya di gedung bawah tanah, dll; di antara hal-hal yang ditentukan oleh para ahli dan disupervisi oleh negara.

[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal 15 Muharram 1445 H – 02 Agustus 2023 M]

*Sumber:*

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/90192.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/839403611080343

https://alwaie.net/fikih/politik-industri-negara-khilafah/

Selasa, 09 April 2024

Bolehkah Sholat dan Berkhutbah Idul Fitri pada Tanggal 2 Syawal?

Tanya :

Tinta Media - Ustadz, bolehkah seseorang yang sudah sholat Idul Fitri tanggal 1 Syawal, lalu sholat lagi, atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal?

Jawab :

Tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal itu.

Dalil bahwa batas akhir sholat Idul Fitri adalah waktu zawal, ditunjukkan oleh hadits berikut ini :

عن أبي عُميرِ بنِ أنسِ بنِ مالكٍ، قال: حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ

Dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA, dia berkara,"Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari para shahabat Rasulullah SAW, bahwa mereka berkata,'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya." (HR Ahmad, no. 20.603; Al Baihaqi, dalam _As-Sunan Al-Kubra_, 3/316; hadits ini dinilai shahih oleh Imam Syaukani dalam _As-Sailul Jarrar_, 1/291; dan oleh Syekh Al-Albani dalam _Shahih Sunan Ibnu Majah_, no. 1348).

Lihat : https://dorar.net/feqhia/1716/

Hadits tersebut menunjukkan bahwa jika informasi rukyatul hilal datangnya pada waktu sore hari _(akhir an nahar),_ yakni berarti sudah melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur), maka sholat Idul Fitrinya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu (tanggal 1 Syawal), melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal).

Ini berarti batas akhir sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') para ulama, yakni tak ada khilafiyah di antara mereka dalam masalah ini.

Imam Ibnu Hazm berkata :

واتَّفقوا أنَّ من صفاء الشمس إلى زوالها وقتٌ لصلاة العيدين على أهل الأمصار ((مراتب الإجماع)) (ص: 32).

"Para ulama sepakat bahwa sejak matahari bersinar terang hingga zawal-nya matahari (awal waktu Zhuhur) adalah waktu untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi penduduk kota." (Ibnu Hazm, _Maratibul Ijma',_ hlm. 32).

Ibnu Rusyd berkata :

واتَّفقوا على أنَّ وقتها... إلى الزوال . ((بداية المجتهد)) (1/229).

"Para ulama sepakat bahwa waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha...adalah hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur)." (Ibnu Rusyd, _Bidayatul Mujtahid,_ 1/229).

Imam Syarbaini Khathib berkata :

وأمَّا كون آخر وقتها- أي: صلاة العيد- الزوال، فمُتَّفق عليه ((مغني المحتاج)) (1/310).

"Adapun bahwa batas akhir sholat Idul Fitri dan Idul Adha itu adalah waktu zawal (waktu awal Zhuhur), maka itu sudah disepakati ulama." (Syarbaini Khathib, __Mughni al-Muhtaj,_ 1/310).

Imam Syaukani berkata :

وقال بعضُ العلماء: وهي من بعد انبساطِ الشَّمس إلى الزوال، ولا أعرِف فيه خلافًا ((الدَّراري المضية)) (1/118).

"Sebagian ulama berkata,'[waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha] adalah sejak terangnya sinar matahari hingga zawal (awal waktu Zhuhur), dan saya tidak melihat ada khilafiyah dalam masalah ini." ( _Ad-Darari al-Mudhi'ah,_ 1/118).

(Lihat : https://dorar.net/feqhia/1716/).

Dari kutipan-kutipan tersebut, jelaslah bahwa batas akhir waktu sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Jadi, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah tanggal 1 Syawal, maka tidak boleh pada hari Senin ini, yakni tanggal 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Iedul Fitri. Yang demikian itu karena berarti dia telah sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada waktu yang telah melampaui waktu yang disyariatkan, yaitu sejak matahari bersinar terang (waktu Dhuha) hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilal yang datang terlambat melampaui waktu zawal (waktu awal Zhuhur) tanggal 1 Syawal, misal pukul 14.00 WIB atau pukul 17.00 WIB tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal.

Dalil kebolehannya adalah hadits dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA yang sudah kami kutip di atas, bahwa Nabi SAW memperoleh kesaksian rukyatul hilal baru pada sore hari tanggal 1 Syawal. Maka kemudian Nabi SAW lalu memerintahkan untuk berbuka saat itu juga, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). (https://dorar.net/feqhia/1716/).

Kesimpulannya, tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, dengan alasan ada hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya melaksanakan shalat yang sama dua kali.

Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Dalil pertama, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Ghundar berkata, dia telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru berkata, Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata, "Mu’adz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi SAW dia lalu kembali pulang dan mengimami kaumnya shalat ‘Isya “ (HR Bukhari, no. 660).

Dalil kedua, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan, dia telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah Bin Muqsim dari Jabir bin Abdullah, "Sesungguhnya Muadz bin Jabal sholat Isya’ bersama Rasulullah SAW, kemudian mendatangi kaumnya lalu sholat menjadi imam mereka sholat Isya’ juga”. (HR Ahmad, no. 13723)

Dalil ketiga, telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Ma’n bin Isa dari Sa’id bin As-Sa`ib dari Nuh bin Sha’sha’ah dari Yazid bin Amir dia berkata,"Saya pernah datang ke Masjid sementara Nabi SAW dalam keadaan shalat. Saya lalu duduk dan tidak shalat bersama mereka. Lalu Rasulullah SAW pergi dan melihat Yazid sedang duduk. Beliau bersabda: “Apakah kamu belum masuk Islam wahai Yazid?” Dia menjawab,"Tentu wahai Rasulullah, saya telah masuk Islam." Rasulullah SAW bersabda,“Lalu apa yang menghalangimu untuk shalat bersama jama’ah?” Dia menjawab,"Saya telah shalat di rumahku dan saya menyangka kalian telah selesai shalat. Maka beliau bersabda: “Apabila kamu datang ke shalat jama’ah, lalu kamu mendapati orang-orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka, meskipun kamu telah shalat, shalatmu itu sebagai nafilah (shalat sunnah) bagimu, dan yang ini (yang sebelumnya) menjadi yang wajib.” (HR Abu Daud, no. 489; Ahmad, no. 18209).

Demikianlah sebagian dalil yang dikemukakan ulama yang membolehkan sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, dengan alasan dari hadits-hadits itu dapat diistinbath hukum syara' umum, yaitu boleh hukumnya melaksanakan shalat yang sama dua kali.

Jawaban kami adalah, dalil-dalil tersebut tidak dapat menjadi dalil bolehnya sholat Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena hadits-hadits tersebut topiknya (maudhu'-nya) khusus berkaitan dengan *sholat wajib lima waktu*, bukan berkaitan dengan sholat Idul Fitri atau sholat Idul Adha.

Tidak dapat diistinbath dari hadits-hadits tersebut suatu hukum umum bahwa boleh hukumnya sholat yang sama dilakukan dua kali, kecuali sholat lima waktu, karena maudhu' (topik) hadits-hadits tersebut berkaitan dengan *sholat wajib lima waktu*, seperti sholat Isya', sebagaimana nampak jelas pada _sababul wurud_ untuk hadits pertama dan hadits kedua.

Adapun generalisasi hadits-hadits tersebut dari lafal-lafal umumnya hingga mencakup sholat di luar sholat waktu, seperti sholat Idul Fitri dan Idul Adha, tidak dapat diterima.

Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

عموم اللفظ في خصوص السبب هو عموم في موضوع الحادثة و السؤال وليس عموما في كل شيء

"Keumuman kata (lafal) berdasarkan sebab yang khusus, hanyalah berlaku umum untuk topik (maudhu') dalam peristiwa dan pertanyaan (yang menjadi sababul nuzul ayat atau sababul wurud hadits), tidak dapat diambil kesimpulan hukum umum untuk segala sesuatu." (Taqiyuddin An-Nabhani, _al-Syakhshiyah Al-Islamiyah,_ 3/243).

Dengan demikian, hadits-hadits di atas hanya dapat diberlakukan untuk sholat wajib yang lima waktu, tidak dapat diberlakukan untuk sholat Idul Fitri atau Idul Adha.

Maka dari itu, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah 1 Syawal, tidak boleh pada hari Senin ini yakni 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Iedul Fitri.

Kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilalnya terlambat melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur) tanggal 1 Syawal, misal pukul 14.00 atau 17.00 tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 2 Syawal 1443 / 2 Mei 2022

M. Shiddiq Al Jawi

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi (Pakar Fikih Muamalah)

Senin, 08 April 2024

Zakat Fitrah

Soal:

Tinta Media - Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya memohon kepada Allah agar Anda berada dalam kebaikan dan kesehatan.

Apa hukum mengeluarkan zakat fitrah dan kaffarah seperti kaffarah sumpah menggunakan nilai uangnya, dan apakah nilai itu diberikan kepada satu orang miskin atau didistribusikan sesuai penentuan Allah untuknya terhadap sepuluh orang miskin dalam kaffarah sumpah dan kepada enam puluh orang dalam kaffarah zhihar?

Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda. [Bakar Sa’id]

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Anda bertanya tentang dua hal:

Pertama, apakah boleh mengeluarkan nilai dalam zakat fitrah dan kaffarah menggantikan apa yang disebutkan di dalam nas-nas syara’ seperti memberi makan dan pakaian dan semacamnya?

Kedua, apakah nilai itu semuanya diberikan kepada satu orang miskin jika nas-nas menyatakan pemberian sejumlah tertentu orang miskin atau harus berpegang dengan jumlah orang miskin yang disebutkan di dalam nas-nas sehingga tidak diberikan semuanya kepada satu orang miskin tetapi diberikan kepada sejumlah orang miskin yang dinyatakan oleh nas?

1. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, maka para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya mengeluarkan nilai, yakni:

– Mengeluarkan seperti yang ada di dalam hadis-hadis yang mulia:

– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra, ia berkata:

«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ»

“Rasulullah SAW mewajibkan shadaqah al-fithri satu sha’ jewawut atau satu sha’ kurma terhadap anak kecil, orang dewasa, merdeka dan hamba sahaya”.

Imam at-Tirmidzi mengeluarkannya dan ada tambahan:

«عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى… قَالَ فَعَدَلَ النَّاسُ إِلَى نِصْفِ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ»

“Terhadap laki-laki dan perempuan … ia berkata: lalu orang-orang menggantinya dengan setengah sha’ gandum”.

Jadi dia dikeluarkan dengan bendanya.

– Adapun nilai uang yakni dengan estimasi penggantinya berupa uang untuk benda shadaqah al-fithri yang disebutkan di hadis-hadis …

Pendapat yang rajih menutur kami adalah apa yang disebutkan di buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah berupa bolehnya memberikan nilai dan hal itu boleh (diberi pahala) dalam zakat karena dalil-dalil berikut:

a. Dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah halaman 150-151 file word:

[Dan boleh dalam zakat hasil pertanian dan buah-buahan diambil nilai -uang atau yang lainnya- menggantikan diambil benda dari hasil pertanian dan buah-buahan itu. Hal itu karena Amru bin Dinar meriwayatkan dari Thawus:

«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَ مُعَاذاً إِلَى الْيَمَنِ فَكَانَ يَأْخُذُ الثِّيَابَ بِصَدَقَةِ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ» رواه أبو عبيد

“Nabi SAW mengutus Mu’adz ke Yaman, dan Mu’adz mengambil pakaian untuk shadaqah gandum dan jewawut” (HR Abu Ubaid).

Diriwayatkan dari Mu’adz tentang shadaqah yang sama, bahwa ia mengambil barang dagangan menggantikannya. Hal itu dalam ucapannya: “Berikanlah kepadaku gamis atau pakaian yang aku ambil dari kalian pada posisi zakat, sebab itu lebih ringan bagi kalian dan lebih bermanfaat untuk orang-orang Muhajirin di Madinah”.

Di dalam as-Sunnah ada dari Rasulullah SAW dan para sahabat beliau bahwa telah wajib hak pada harta, kemudian diubah kepada yang lainnya, yang pemberiannya lebih mudah bagi orang yang memberikan dari pada yang asli. Di antara hal itu adalah surat Nabi SAW kepada Mu’adz di Yaman tentang jizyah:

«أَنَّ عَلَى كُلِّ حَالِمٍ دِينَاراً أَوْ عِدْلَهُ مِنَ الْمَعَافِرِ» رواه أبو داود

“Bahwa bagi tiap laki-laki yang sudah baligh satu dinar atau pakaian Yaman” (HR Abu Dawud).

Jadi Nabi SAW mengambil barang menggantikan uang, yakni mengambil pakaian menggantikan emas. Dan di antara hal itu adalah apa yang Beliau tulis kepada penduduk Najran:

«أَنَّ عَلَيْهِمْ أَلْفَيْ حُلَّةٍ فِي كُلِّ عَامٍ، أَوْ عِدْلَهَا مِنَ الأَوَاقِيِّ» رواه أبو عبيد

“Bahwa wajib bagi mereka dua ribu hullah setiap tahun atau yang setara berupa uqiyah” (HR Abu Ubaid).

Ibnu Qudamah menyebutkan di al-Mughnî bahwa Umar ra. mengambil unta dalam jizyah menggantikan emas dan perak. Sebagaimana bahwa Ali ra mengambil jarum, tali dan cairan dalam jizyah menggantikan emas dan perak] selesai.

b. Dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah halaman 159 file word:

[Emas dizakati dengan emas, uang kertas substitusi dan uang kertas substitusi parsial. Perak dizakati dengan perak, uang kertas substitusi dan uang kertas substitusi parsial. Sebagaimana juga diberi pahala, emas dizakati dengan perak dan uang kertas fiat money; dan perak dizakati dengan emas dan uang kertas fiat money. Sebab semuanya adalah uang dan harga. Maka sebagian boleh dibayar dengan sebagian yang lain, dan boleh juga sebagian dikeluarkan dengan sebagian lainnya karena terpenuhinya tujuan dalam hal itu. Di bab Zakât alz-Zurû’ wa ats-Tsimâr -Zakat Hasil Pertanian dan Buah-buahan- telah dijelaskan dalil-dalil diambilnya nilai menggantikan zat harta yang di dalamnya wajib zakat] selesai.
 
Berdasarkan hal itu maka saya merajihkan bolehnya membayar zakat al-fithri menggunakan nilai uang atau mengeluarkannya dengan zatnya sebagaimana yang ada di dalam hadis-hadis yang mulia.

c. Perlu diketahui, ada pendapat para fukaha dalam hal itu, di antaranya;

– Fukaha hanafiyah berpandangan bahwa yang wajib dalam shadaqah (zakat) al-fithri adalah setengah sha’ berupa gandum atau tepung gandum atau kismis atau satu sha’ kurma atau jewawut. Adapun sifatnya maka bahwa kewajiban yang dinyatakan oleh nas dari sisi bahwa itu merupakan harta yang dapat diestimasi nilainya secara mutlak bukan dari sisi itu merupakan zat (benda), sehingga boleh diberikan dari semua itu berupa nilai dirham, dinar, fils (fulûs), barang dagangan atau apa yang dikehendaki. Imam as-Sarakhsiy mengatakan di al-Mabsûth (3/107-108); [jika diberikan nilai gandum maka boleh menurut kami. Sebab yang menjadi patokan adalah tercapainya kecukupan. Hal itu terwujud dengan nilai sebagaimana juga tercapai dengan gandum … Dan ini adalah mazhab hanafiyah dan yang diamalkan di dalam fatwa-fatwa mereka pada semua zakat, kaffarah, nadzar, kharaj dan lainnya …

– Umar bin Abdul Aziz berpandangan boleh mengeluarkan nilai. Dari Waki’ dari Qurrah, ia berkata; datang kitab Umar bin Abdul Aziz tentang shadaqah al-fithri; “setengah sha’ dari setiap manusia atau nilainya setengah dirham”. Dan atsar-atsar ini telah diriwayatkan oleh imam Abu Bakar bin Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf ibni Abiy Syaibah (2/398).

Atas dasar itu, maka tidak wajib berpegang dengan zat harta-harta yang dinyatakan oleh naas, tetapi boleh mengeluarkan nilainya, karena dalil-dalil syara’ yang disebutkan di atas.

2. Adapun berkaitan dengan pertanyaan kedua, para ulama juga telah berbeda pendapat dalam masalah ini. dan pandangan yang saya rajihkan bahwa jika nas menyatakan jumlah tertentu orang miskin semisal:

﴿فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ﴾

“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka …” (TQS al-Maidah [5]: 89).

﴾، ﴿فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً﴾

“Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin” (TQS al-Mujadilah [58]: 4).

Dalam kondisi ini wajib berpegang dengan jumlah yang disebutkan (sepuluh orang, enam puluh orang) baik pemberian itu dengan bendanya atau nilainya. Hal itu karena jumlah adalah yang dimaksudkan, dan itu merupakan batasan yang mengikat. Adapun jika nas menuntut pemberian orang-orang miskin tanpa menyebutkan jumlah maka boleh diberikan kepada satu orang miskin saja karena tidak adanya pembatasan dengan jumlah. Dan juga boleh diberikan kepada lebih dari satu orang miskin. Hal itu seperti firman Allah SWT tentang zakat:

﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS at-Tawbah [9]: 60).

Jadi, orang yang berzakat boleh memberikan zakatnya kepada satu orang miskin, dan dia juga boleh membaginya kepada lebih dari satu orang miskin. Sebab tidak dinyatakan jumlah tertentu di dalam ayat tersebut, tetapi dinyatakan lafal “al-masâkîn (orang-orang miskin)”, begitu tanpa jumlah … Tetapi dalam hal itu harus diperhatikan bahwa mereka berhak mendapatkan zakat karena sifat kemiskinan …

Jadi batasan maksimal dari zakat yang diberikan, baik mereka itu satu orang atau lebih dari satu orang, adalah apa yang menjadikan mereka dalam kecukupan dari (tidak membutuhkan) zakat. Yakni apa yang membuat mereka kecukupan, yang mana mereka menjadi bukan orang yang berhak untuk mendapat zakat. Artinya dengan zakat yang diberikan kepada mereka, mereka keluar dari sifat kemiskinan … Dan tidak boleh memberi mereka lebih dari yang demikian … Kadar ini tentu saja berbeda dari satu person ke person yang lain dan dari satu kondisi ke kondisi yang lain.

Ini yang saya rajihkan, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Selasa, 02 April 2024

Kriteria Mampu dalam Zakat Fitrah

Tanya :
Tinta Media - Apa kriteria mampu untuk berzakat fitrah? Dan apakah boleh jika zakat fitrah dari orang lain kepada dirinya dia gunakan kembali untuk membayar zakat fitrah bagi dirinya?
 
Jawab :
Kriteria mampu berzakat fitrah menurut jumhur ulama, yaitu ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, adalah jika seorang muslim mempunyai kelebihan (ziyâdah/fâdhil) bahan makanan pokok pada malam Hari Raya untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 23, hlm. 338; Entry “Zakat Al-Fithri”).

Imam Nawawi berkata :

مَذْهَبُنا أَنَّهُ يُشْتَرَطُ أَنْ يَمْلِكَ فاضِلًا عَنْ قوتِهِ وَقوتِ مِنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتَهُ لَيْلَةَ الْعِيدِ وَيَوْمِهِ
 
“Mazhab kami (mazhab Syafi’i) mensyaratkan [untuk orang yang berzakat fitrah] mempunyai kelebihan bahan makanan pokok untuk dirinya dan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya, pada malam hari raya dan keesokan harinya.” (Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VI, hlm. 67).

Dalil persyaratan tersebut adalah hadis dari Sahal bin Hanzhalah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
 
‫ مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النّارِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيْهِ ؟ قَالَ : أَنْ يَكُوْنَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ  
 
“Barangsiapa yang meminta-minta padahal dirinya mempunyai apa yang mencukupinya, maka berarti dia telah memperbanyak api neraka.” Para shahabat bertanya,’Wahai Rasulullah, apa yang mencukupinya?’ Rasulullah SAW bersabda,”Dia mempunyai makanan yang mengenyangkan dia untuk sehari semalam.” (HR Abu Dawud, no. 1629. Hadis Hasan). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23/338).

Maka dari itu, jika pada malam Iedul Fitri, seseorang hanya mempunyai makanan untuk 2 jiwa padahal di rumahnya ada 5 jiwa yang menjadi tanggungannya, berarti dia belum dianggap mampu (qâdir) untuk berzakat fitrah. 

Dengan demikian, bagi orang tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah.

Jika pada malam Hari Raya, dia mempunyai bahan makanan untuk 10 jiwa, padahal di rumahnya ada 5 jiwa yang menjadi tanggungannya, maka berarti dia dianggap mampu berzakat fitrah dan wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan orang-orang yang ditanggungnya.

Ukuran kemampuan berzakat fitrah secara kuantitatif dapat dirinci sebagai berikut; 

Bahwa menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), konsumsi beras untuk penduduk Indonesia rata-rata per kapita (per orang) per tahun adalah = 144 kilogram. (m.liputan6.com). 

Berarti, konsumsi per kapita untuk per hari adalah = 144 kg : 365 hari = 0,39 kilogram.

Angka 0,39 kilogram itu dibulatkan = 0,4 kg = 400 gram per kapita per hari.

Inilah in syaa Allah standar konsumsi beras per hari per orang untuk penduduk Indonesia, yaitu 400 gram per orang per hari.

Contohnya : jika ada 5 anggota keluarga, maka kebutuhan berasnya dalam 1 hari adalah = 5 x 400 gram = 2000 gram = 2 kilogram per hari.

Berdasarkan perhitungan kuantitatif tersebut, berarti kriteria mampu berzakat fitrah adalah : mempunyai kelebihan dari kebutuhan beras untuk satu hari, yaitu 400 gram dikalikan jumlah anggota keluarga, atau mempunyai uang yang senilai.

Misal, satu keluarga ada 5 jiwa, maka kebutuhan beras dalam 1 hari adalah = 5 x 400 gram = 2000 gram = 2 kilogram. 

Jika kepala keluarga tersebut pada malam Hari Raya mempunyai beras lebih dari 2 kilogram, misal 10 kilogram, atau mempunyai uang yang senilai, maka dia wajib berzakat fitrah, karena mempunyai kelebihan beras yang dibutuhkan dalam 1 hari.

Sebaliknya jika kepala keluarga tersebut pada malam Hari Raya mempunyai beras yang kurang dari 2 kilogram, misal hanya 1 kilogram, atau uang yang senilai, maka dia tidak wajib berzakat fitrah.

Jika kepala keluarga mempunyai beras yang lebih dari kebutuhan keluarganya, dia wajib berzakat fitrah, walaupun beras yang dimiliki itu juga berasal dari pemberian orang lain kepadanya sebagai zakat fitrah. Wallahu a’lam.
 
Yogyakarta, 20 Ramadhan 1443 (21 April 2022)

Muhammad Shiddiq Al Jawi

http://www.fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/460



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Muamalah

Selasa, 05 Maret 2024

Mengqadha Puasa yang Ditinggalkan Selama Bertahun-Tahun, Wajibkah Membayar Fidyah?



Tinta Media - Bagi orang yang tidak melaksanakan puasa selama bertahun-tahun tanpa ‘udzur (halangan) padahal ada kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya, wajibkah ia mengqadha disertai membayar fidyah? Inilah pendapat tiga madzhab fikih berkaitan dengannya. Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari soal-jawab al ‘âlim al jalîl as-Syaikh ‘Atha Ibn Khalil Abu Rasytah di Facebook. 



Soal: 

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Wahai syaikh, saya ingin mengetahui hukum Allah terkait mengqadha puasa agar hati saya menjadi tenang. Saya di waktu jahiliyah (belum bertaubat) tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa ada ‘udzur (halangan yang dibenarkan syariat). Kemudian alhamdulillah,  Allah merahmatiku hingga saya bertaubat. Bagaimana saya mengqadha puasa yang ditinggalkan. Apakah ada kewajiban membayar fidyah setiap tahunnya ataukah cukup mengqadha saja. Saya berharap Anda ,wahai Syaikh kami menjawab pertanyaan ini. 

Jawab: 

Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Wahai saudaraku, Anda menyatakan bahwa anda tidak mengerjakan puasa secara sengaja selama waktu tertentu tanpa ada ‘udzur. Kemudian setelah sekian tahun berlalu, Allah memberi Anda hidayah pada jalan yang lurus. Lalu anda berpuasa... Atas dorongan takwa Anda ingin mengqadha puasa Ramadhan yang tidak dikerjakan sebelumnya. Sungguh, saya memuji Allah atas nikmat hidayah yang Allah berikan pada Anda yang menghantarkan  pada sebaik-baik ketaatan hingga Anda tidak mencukupkan dengan puasa yang Anda jalani setelah mendapat hidayah. Anda juga sangat bersemangat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan yang ditinggalkan. Semoga Allah melimpahkan berkahnya pada Anda dan bagi Anda sebaik-baik taubat. Semoga Allah menyempurnakan nikmat dan rahmatnya pada Anda. Aamiin 

Saudaraku yang mulia, kami (beliau sebagai amir Hizbut Tahrir) tidak mentabanni (adopsi) perkara ibadah. Kami persilakan perkara ini  bagi muslim untuk mengikuti pendapat dari  madzhab yang ada pada topik puasa atau shalat..... Kami disini akan paparkan sebagian pendapat fikih terkait mengqadha puasa dan hal-hal terkait yang semoga dengannya menjadikan dada Anda menjadi lapang dan hati menjadi tenang: 

1. Terdapat dalam kitab Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah al-Madzhab, karya ‘Abdul Malik al Juwaini yang bergelar Imam al Haramain (w. 478 H), beliau adalah ahli fikih madzhab Imam Asy Syafi’i: 

“Siapa saja yang  telah berlalu (tidak melaksanakan puasa) di bulan Ramadhan dan memungkinkan untuk mengqadhanya, tidak boleh ia melambatkan qadhanya hingga masuk bulan Ramadhan tahun selanjutnya. Apa yang kami sebutkan bukanlah sesuatu yang dianjurkan, namun sesuatu yang wajib dilakukan, seiring adanya kemampuan dan hilangnya halangan. Jika terpaksa mengundurkan qadha puasa pada tahun selanjutnya tanpa ada ‘uzdur, maka selain mengqadha, wajib pula membayar fidyah sebanyak satu mud makanan setiap harinya, jika melambatkan mengqadha selama dua tahun atau beberapa tahun, maka berkaitan mengandakan fidyah ada dua pendapat: 

Pertama, fidyahnya tidak dilipatgandakan, namun seperti hanya melambatkan satu tahun saja. Pendapat yang shahih (lebih kuat) adalah melipatgandakan fidyah. Wajib baginya membayar fidyah untuk satu tahun yang lewat satu mud setiap harinya, jika terlambat mengqadha dua tahun maka dua mud setiap harinya.  Hal ini sebagai tambahan. Inilah ketentuan tentang fidyah... 

Hal ini berarti qadha puasa Ramadhan, hendaklah dilakukan sebelum masuk Ramadhan tahun selanjutnya. Jika melambatkan hingga masuk bulan Ramadhan maka wajib atasnya mengqadha dan membayar fidyah. Dan pendapat lain bahwa jika melambatkan mengqadha hingga dua tahun maka wajib atasnya membayar dua fidyah (dari setiap hari yang ditinggalkan, pent) disertai qadha. 

2. Terdapat dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ ‘an matni al-Iqna’, karya Manshur bin Yunus al Buhuti al Hanbaliy (w. 1051 H) 

“Siapa saja yang tidak mengerjakan puasa Ramadhan sebulan penuh atau sebagiannya. Maka hendaklah ia mengqadha sejumlah hari yang ditinggalkan. Dan boleh melambatkan pelaksanaan qadha selama belum berlalu waktunya yakni hingga nampaknya hilal bulan Ramadhan selanjutnya. Tidak boleh melambatkan qadha puasa hingga masuk bulan Ramadhan selanjutnya tanpa ‘udzur. Jika melambatnya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqada dan memberi makan orang miskin setiap harinya yang teranggap sebagai kafarah (penebus keterlambatan). Tidak dilipatgandakan fidyah karena beberapa kali Ramadhan terlambat mengqadha, karena banyaknya keterlambatan tidak menambah kewajiban fidyah sebagaimana jika mengakhirkan haji yang wajib beberapa tahun, tidak ada kewajiban baginya melaksanakan haji berkali-kali)...hal ini berarti bahwa siapa yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan dan tidak mengqadhanya hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka wajib atasnya qadha dan fidyah. 

3. Adapun Madzhab Abu Hanifah, meski melambatkan qadha puasa hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka yang diwajibkan hanya mengqadha puasa, tanpa fidyah. 

Dalam kitab al-Mabsûth karya Imam Sarkhasiy, ahli fikih madzhab Hanafi (w. 483) disebutkan: 

“Orang yang ada kewajiban mengqadha puasa Ramadhan namun tidak mengqadhanya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya, maka wajib atasnya mengqadha Ramadhan yang telah lewat, menurut madzhab kami tidak ada kewajiban fidyah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rahimahullah wajib mengqadha serta membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap harinya. Bagi kami yang zhahir (dalil yang terang) adalah firman Allah Ta’ala: “maka hendaklah mengqadhanya di hari yang lain” (QS. al Baqarah [2]: 184). Pada ayat di atas tidak ada batasan waktu tertentu, sedangkan membatasi waktu tertentu, yaitu di antara dua Ramadhan adalah sebuah tambahan, padahal puasa adalah ibadah yang terkait dengan waktu tertentu tetapi mengqadhanya tidak dibatasi waktu tertentu (pent). 

Di dalam kitab Badaî’u al-Mashani’ fi Tartîb as-Syarâ’i karya ‘Alâ’u ad-Din al Kâsâniy al Hanafi (w. 587 H) disebutkan:

“Pendapat ulama madzhab Hanafi, bahwa mewajibkan qadha tanpa batasan waktu tertentu, sebagaimana kami sebutkan bahwa perkara qadha puasa adalah mutlak, tanpa batasan sebagian waktu atas sebagian waktu yang lain. Jadi sifatnya mutlak (tanpa batasan waktu). Atas dasar ini maka ashab kami menyatakan: bahwasanya jika melambatkan qadha Ramadhan hinga masuk Ramadhan selanjutnya tidak ada kewajiban fidyah...” 

Hal ini berarti bahwa madzhab Abu Hanifah hanya mewajibkan qadha tanpa fidyah, yaitu qadha semata atas hari-hari di bulan Ramadhan Ramadhan yang tidak dilaksanakan puasa. 

Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa kami tidak mentabanni perkara ibadah. Saya hanyalah memaparkan kepada Anda sebagian pendapat madzhab Abu Hanifah, asy Syafi’i dan ahli fikih madzhab Hanbali. Dan apa yang menurut Anda melapangkan dada Anda (dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan, pent) maka lakukannlah. Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda terhadap apa yang Allah sukai dan ridhai. 

Saya berharap hal ini memadai. Dan Allah Maha mengetahui dan Maha Adil. 

Saudaramu, ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
8 Ramadhan 1440 H/13 Mei 2019

Oleh: ‘Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
Penerjemah: Wahyudi Ibnu Yusuf 

Telur Pecah dalam Tas Kresek Bercampur dengan Cangkang Telur yang Dibersihkan dari Kotoran dengan Cara Dikikis, Bolehkah Dimakan?

 
Tanya :

Tinta Media - Assalamu'alaykum Ustadz. Saya mau bertanya lagi. Saya membeli telur setengah kilogram, lalu tas kreseknya jatuh. Alhasil sebagian besar telurnya pecah di dalam tas kresek dan kecampur cangkang. Nah, telurnya boleh dimakan atau tidak? Karena cangkang telurnya belum dicuci dengan air, kalau dari pedagang walaupun cangkangnya bersih, tetapi bersihnya bukan dicuci dengan air, tetapi cuma dikikis-kikis saja. (Ratna, Lampung)

 Jawab :

Wa ‘alaykumus salam wr. wb.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu, apakah pembersihan kotoran ayam yang menempel pada cangkang telur, dengan cara dikikis-kikis, mencukupi atau tidak? Dengan kata lain, apakah cangkang telur tersebut sudah menjadi suci, yaitu bersih dari najis, hanya dengan dikikis-kikis tanpa dicuci dengan air? Di sinilah terdapat perbedaan pendapat (ikhtilāf/khilāfiyyah) di kalangan ulama, mengenai apakah pengikisan atau penggarukan najis, atau yang dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah al-dalku atau al-furku, sudah mencukupi untuk menghilangkan najis tanpa menggunakan air. 

Yang disebut al-dalku atau al-furku, adalah menggosok atau menggaruk atau mengikis sesuatu. (A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hlm. 417 & 1051). Dalam kitab Mu’jam Lughat Al-Fuqahā’, disebutkan :

اَلدَّلْكُ (اَلْفُرْكُ) هُوَ تَكْرَارُ وَإِمْرَارُ الشَّيْءِ عَلىَ الشَّيْءِ مَعَ الضَّغْطِ عَلَيْهِ

“Yang disebut penggosokan (al-dalku/al-furku) adalah melewatkan sesuatu pada sesuatu secara berulang-ulang sambil memberikan tekanan padanya.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā’, hlm. 187).

Para ulama berbeda pendapat apakah al-dalku/al-furku (penggosokan/penggarukan/pengikisan) tersebut terhadap suatu najis, dapat menjadi muthahhir (penghilang najis) atau tidak. (‘Abdul Majīd Mahmūd Shalāhain, Ahkām Al-Najāsāt, hlm. 515-521).

Ada 3 (tiga) pendapat ulama dalam masalah ini; 

Pertama, mazhab Hanafi, berpendapat menurut pendapat yang rājih (lebih kuat) di antara mereka, bahwa al-dalku/al-furku (penggosokan) itu dapat menjadi muthahhir (penghilang najis). Imam Abu Hanifah mensyaratkan al-dalku (penggosokan) dapat menghilangkan najis, asalkan najisnya kering. Jika najisnya basah, tidak menghilangkan najis. Menurut Imam Abu Yusuf, al-dalku (penggosokan) dapat menghilangkan najis tanpa mensyaratkan najisnya kering. Jadi al-dalku (penggosokan) dapat menghilangkan najis secara mutlak, baik najisnya kering maupun basah, sesuai hadits Rasulullah SAW :

إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلَيه الأَذَى فَإِنَّ التُّرابَ لَهُما طَهورٌ

“Jika kedua sandal salah seorang dari kalian menginjak kotoran (seperti najis, air kencing, dsb), maka tanah menjadi penyuci bagi kedua sandal tersebut.” (HR. Abu Dawud, no. 385; dan Al-Hakim, no. 591, hadits hasan menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Shahīh Abū Dāwūd, no. 385).

Kedua, mazhab Maliki dan Hambali, bahwa al-dalku (penggosokan) menurut Imam Ibnu Juzai (mazhab Maliki) dapat menghilangkan najis secara mutlak, kering atau basah. Tetapi jumhur ulama Malikiyyah mengatakan bahwa al-dalku (penggosokan) hanya menghilangkan najis yang sifatnya kering. Menurut mazhab Hambali, sama dengan jumhur Malikiyyah, yakni al-dalku (penggosokan) hanya menghilangkan najis yang sifatnya kering.

Ketiga, mazhab Syafi’i, bahwa al-dalku (penggosokan) tidak dapat menghilangkan najis yang sifatnya basah, demikian pula najis yang sifatnya kering. Namun jika ada bekas setelah dilakukan al-dalku (penggosokan), maka bekas itu tidak di-ma’fu (dimaafkan) menurut qaul jadīd dari Imam Syafi’i, yang dianggap rājih (lebih kuat). Sedang menurut qaul qadim, bekasnya di-ma’fu dengan syarat-syarat tertentu. (‘Abdul Majīd Mahmūd Shalāhain, Ahkām Al-Najāsāt, hlm. 515-518).

Pendapat yang *rājih* (lebih kuat), dari tiga pendapat tersebut, adalah pendapat yang mengatakan bahwa al-dalku (penggosokan) hanya dapat menghilangkan najis yang sifatnya kering, namun tidak dapat menghilangkan najis yang sifatnya basah. Inilah pendapat rājih oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, pendapat jumhur ulama Maliki, pendapat ulama mazhab Hambali, dan qaul qadim dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab (Juz II, hlm. 618-619). 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan :

وَإِنْ أَصَابَ أَسْفَلَ الْخُفِّ نَجَاسَةُ فَدَلَكَهُ عَلىَ أْلأَرْضِ نُظِرَ: فَإِنْ كَانَتْ نَجاسَةٌ رَطْبَةً لَمْ يُجْزِئْهُ وَلَا تَطْهُرُ بَلْ تَظَلُّ نَجِسَةً ، وَإِنْ كَانَتْ يَابِسَةً تَطْهُرُ بِالدَّلْكِ وَيُجْزِئُهُ ذَلِكَ ، لِمَا رَوَىْ أَبُوْ سَعْيْدٍ اَلْخُدْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَىْ فِيْ نَعْلَيْهِ قَذَراً أوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا »، فَطَهَارَةُ النَّعْلَيْنِ مِنَ النَّجَاسَةِ الْعَالِقَةِ بِهِمَا الدَّلْكُ إِنْ كَانَتْ نَاشِفَةٌ وَالْغُسْلُ إِنْ كَانَتْ مَبْلُوْلَةً.

“Jika bagian bawah khuff (semacam sepatu) seseorang mengenai suatu najis, lalu orang itu menggosokkan khuff itu pada tanah, maka dilihat ; jika najisnya basah, maka al-dalku (penggosokan) itu tidak mencukupi dan khuff itu tidak menjadi suci, bahkan tetap najis. Jika najis itu kering, maka khuff itu menjadi suci dengan al-dalku (penggosokan) itu dan mencukupinya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudry RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :   

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَىْ فِيْ نَعْلَيْهِ قَذَراً أوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا. رواه أبو داود وأحمد والدارمي

“Jika salah seorang dari kamu datang ke masjid, maka hendaklah dia memperhatikan, jika dia melihat pada kedua sandalnya ada kotoran atau najis, maka hendaklah dia menggosoknya dan dia boleh sholat dengan dua sandal tersebut.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Darimi). Jadi, sucinya dua sandal dari najis yang menempel padanya, adalah dengan al-dalku (penggosokan), jika najisnya kering. Sedangkan jika najisnya basah, maka caranya dengan membasuh sandal tersebut  dengan air.” (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Ahkām Al-Sholāt, hlm 15).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dari dua pendapat ulama, apakah pengikisan atau penggarukan najis (al-dalku atau al-furku), sudah mencukupi untuk menghilangkan najis tanpa menggunakan air, maka pendapat yang rājih (lebih kuat), adalah pendapat yang mengatakan bahwa al-dalku (penggosokan) hanya dapat menghilangkan najis yang sifatnya kering, namun tidak dapat menghilangkan najis yang sifatnya basah.   

Dengan demikian, jika pendapat tersebut diterapkan untuk kasus yang ditanyakan di atas, berarti pengikisan atau penggarukan najis (al-dalku atau al-furku) berupa kotoran ayam yang menempel pada cangkang telur, sudah mencukupi atau sudah menyucikan, walaupun tidak menggunakan air, asalkan kotoran ayam tersebut dalam keadaan sudah kering. 

Kesimpulannya, jawaban untuk pertanyaan di atas ada dua kemungkinan hukum syara’ sebagai berikut ;

*Pertama*, jika pengikisan kotoran pada cangkang telur dilakukan dalam keadaan kotorannya sudah kering, maka cangkang itu sudah dapat dianggap suci _(thāhir)_ secara syariah. Maka ketika cangkangnya pecah dan bercampur dengan kuning telur dan putih telur, maka kuning telur dan putih telur ini boleh dimakan, karena kuning telur dan putih telur itu adalah benda suci, bukan benda najis. Kaidah fiqih yang relevan dengan masalah ini menyebutkan :

اَلْأَصْلُ فِيْهَا اَلْحِلُّ ، فَيُبَاحُ كُلُّ طَاهِرٍ لَا مَضَرَّةٍ فِيْهِ

“Hukum asal pada berbagai makanan atau minuman, adalah halal, maka dibolehkan segala sesuatu yang suci (tidak najis) yang tidak terdapat bahaya (madharat) padanya.” (Syarafuddin Ahmad Al-Hijāwī, Zādul Mustaqni’ fī Ikhtishār Al-Muqni’, hlm. 112).

*Kedua*, jika pengikisan kotoran pada cangkang telur dilakukan dalam keadaan kotorannya masih basah, maka cangkang itu tidak menjadi suci (thāhir) secara syariah, atau dengan kata lain masih menjadi najis, yang menempel pada cangkang telur. Maka ketika cangkangnya pecah dan bercampur dengan kuning telur dan putih telur, maka kuning telur dan putih telur itu tidak boleh dimakan, karena sudah terjadi percampuran antara zat najis (yaitu sisa kotoran yang menempel pada cangkang telur) dengan zat suci (yaitu kuning telur dan putih telur). Dalam kondisi seperti ini, yaitu terjadinya percampuran zat najis yang haram dimakan, dengan zat suci yang halal dimakan, maka dikuatkan hukum haram, berdasarkan kaidah fiqih yang berbunyi :

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ

“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.” (Arab : idza [i]jtama’a al-ḥalālu wa al-ḥarāmu ghulliba al-ḥarāmu). (Imam Jalāluddīn al-Suyūṭiy, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 105; Imam Ibnu Nujaym, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 109; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Al-Wajīz fī Ῑḍāh Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 209; ‘Aliy Aḥmad al-Nadwiy, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, hlm. 309; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421).  

Wallāhu a’lam.

Jakarta, 1 Maret 2024
 
Referensi: www.fissilmi-kaffah.com


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer

Senin, 26 Februari 2024

Hukum Menerima Hadiah dari Rekening Wadiah di Bank Syariah



Tanya :
Tinta Media - Assalamu'alaykum. Ustadz mau tanya. Saya titip uang ke BSI (Bank Syariah Indonesia) dengan akad wadiah murni. Nah pas BSI ulang tahun saya dikasih Rp 25.000. Halal tidak itu Ustadz? (Ratna, Lampung).

Jawab :
Wa ‘alaykumus salam wr . wb.

Haram hukumnya seorang penabung dengan rekening wadiah di sebuah bank syariah menerima hadiah atau bonus dari bank tersebut. Hal ini karena akad wadiah (titipan) di bank syariah tersebut sesungguhnya tidak memenuhi kriteria-kriteria wadiah secara syariah. Jadi tabungan wadiah itu sebenarnya bukan wadiah secara syariah, melainkan pinjaman (qardh). Ketika akad tabungan wadiah di bank syariah itu berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya, tiada lain adalah riba yang diharamkan dalam Islam. 

Dalil haramnya hadiah yang muncul dari akad qardh (pinjaman), adalah sabda Rasulullah SAW :

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika kamu memberi pinjaman (qardh) maka janganlah kamu mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V/530).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa hadiah yang muncul dari adanya pinjaman (qardh), hukumnya adalah haram secara mutlak, baik dipersyaratkan maupun tidak dipersyaratkan pada saat akad pinjaman (qardh) di awal.

Adapun mengapa akad wadiah (titipan) di bank syariah itu berubah menjadi pinjaman (qardh)? Hal ini karena wadiah (titipan) di bank syariah, tidak memenuhi kriteria syariah yang seharusnya ada pada akad wadiah, dengan dua bukti atau argumen sebagai berikut; 

Pertama, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), tidak menggunakan uang yang dititipkan. Jadi bank syariah tidak boleh melakukan isti’māl (penggunaan/pemanfaatan) terhadap uang itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, digunakan untuk membayar berbagai macam tagihan, digunakan untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb. Faktanya, bank syariah melakukan tindakan yang disebut isti’māl, yaitu penggunaan/pemanfaatan terhadap uang tersebut. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).

Kedua, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhoman) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (melampaui batas kewenangan). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45). 

Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhoman) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan _tafrīth_ atau ta’addiy. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).
Karena akad wadiah di bank syariah itu tidak memenuhi kriteria wadiah dalam syariah, maka akad wadiah di bank syariah itu sebenarnya tidak mungkin dipertahankan lagi sebagai wadi’ah (titipan) secara syariah, melainkan sudah berubah sifat menjadi akad pinjaman (qardh). 

Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, dalam kitabnya Ar-Riba wa Al-Mu’amalat Al-Mashrifiyyah fi Nazhar Al-Syari’ah Al-Islamiyah, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadi’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat :

وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ

“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadi’ah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Ar-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 347).

Nah, maka dari itu, jelaslah bahwa dikarenakan akad tabungan wadiah di bank syariah itu sudah berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya yang mempunyai rekening wadiah, sesungguhnya adalah riba. Wallāhu a’lam.

Bandung, 22 Februari 2024

Oleh: KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer

Referensi :
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com

Selasa, 13 Februari 2024

Penyalahgunaan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah untuk Melegitimasi Pemilu Sistem Sekuler



Tanya:
Tinta Media - Assalamualaikum wr wb.
Afwan Ustadz saya Raihan alumni STEI Hamfara Yogyakarta dari Sulawesi. Izin bertanya Ustadz, Jumat kemarin waktu khutbah Jumat, khotib menyerukan kepada jamaah terkait wajib memilih pemimpin mengingat dalil tentang ketika 3 orang berada di tengah gurun pasir, maka salah satu di antaranya wajib diangkat menjadi pemimpin, jika tidak ada yang baik pilih yang sedikit mudaratnya, terus khotib mengutip terkait pernyataan ulama terdahulu yaitu, "lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" Nah, setelah dari pernyataan itu khotib menyeruhkan bahwa kita haru memilih capres nanti. Ini dalam pandangan Islam yang sebenarnya gimana Ustadz? Apakah karena pernyataan dari ulama lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa pemimpin, kita terpaksa memilih pemimpin yang kita tahu dia tidak akan menjalankan sistem Islam? (Raihan, Sulawesi). 

Jawab:
Wa 'alaikumus salam wr . wb. 

Pendapat khothib tersebut tidak benar jika beliau mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai "ucapan ulama terdahulu" yang bunyinya  : "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan." 

Peru diketahui bahwa kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan "pemimpin yang zalim" adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah, bukan pemimpin dalam sistem demokrasi yang sekuler saat ini. 

Kutipan aslinya berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa yang teks Bahasa Arabnya berbunyi sebagai berikut : 

سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ 

"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391). 

Perhatikan teks asli berbahasa Arab tersebut! Teks aslinya berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim", tidak boleh sama sekali diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim." Hal ini karena kata "Imam" (atau "Khalifah") merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin ("amiir") merupakan kata yang lebih umum cakupannya.  Jadi ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim", jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru.  

Ada perbedaan antara istilah "pemimpin" dengan "Imam". Perbedaannya, kata "pemimpin" (Bahasa Arabnya adalah _amiir_) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap-tiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan. Jadi kata "pemimpin" bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya. Adapun istilah "Imam" atau "Khalifah" adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126).  

Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (yaitu sama maknanya). Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin

يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ 

“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49). 

Secara lebih khusus, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata : 

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ. 

“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49). 

Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini. Seharusnya terjemahan yang benar adalah "enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim" bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zolim". Nah penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan "pemimpin" adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat "imam yang zalim" (dalam teks Bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini. Wallahu a'lam

Yogyakarta, 12 Februari 2024 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.shiddiqaljawi.com
www.fissilmi-kaffah.com



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah

Senin, 15 Januari 2024

HUKUM MENYELENGGARAKAN WALIMAH DALAM RANGKA AQIQAH





Tanya
Tinta Media - Kyai, afwan nanya, kalau hajatan untuk aqiqahan anak hukumnya boleh kan kyai? (Daeng Irwansyah, Bandung). 

Jawab
Jika yang dimaksud hajatan adalah mengadakan walimah dalam rangka aqiqah, yaitu mengundang orang-orang ke rumah shohibul hajat untuk makan-makan daging aqiqah, maka hukumnya makruh. Yang lebih baik, bukan mengundang, tapi mengirimkan aqiqah kepada mereka di rumah mereka masing-masing. Aqiqah dapat dibagikan dalam keadaan mentah, tapi yang lebih afdhol adalah dibagikan dalam keadaan matang (sudah dimasak). Demikianlah hukum syara’ dalam masalah ini, sebagaimana penjelasan para ulama. 

Syekh Al-Khalīl dalam kitabnya Mukhtashar berkata : 

وَكُرِهَ عَمَلُهَا وَلِيْمَةً 

“Dan makruh hukumnya mengamalkan aqiqah dalam bentuk walimah.” (Syekh Khalīl bin Ishāq Al-Māliki, Mukhtashar Al-‘Allāmah Khalīl, hlm. 81). 

Dalam kitab Al-Fawākih Al-Dānī, Syekh An-Nafrawi Al-Maliki menjelaskan alasan kemakruhan menyelenggarakan aqiqah dalam bentuk walimah sebagai berikut : 

وَيُكْرَهُ جَعْلُهَا وَلِيمَةً وَيَدْعُو لَهَا النَّاسَ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ، وَإِنَّمَا كُرِهَ لِمُخَالَفَتِهِ لِفِعْلِ السَّلَفِ وَخَوْفِ الْمُبَاهَاةِ وَالْمُفَاخَرَةِ، بَلْ الْمَطْلُوبُ إِطْعَامُ كُلِّ وَاحِدٍ فِي مَحَلِّهِ، وَلَوْ وَقَعَ عَمَلُهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَتْ 

“Dimakruhkan melaksanakan aqiqah dalam bentuk walimah, yaitu mengundang orang-orang untuk makan aqiqah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang. Hal itu dimakruhkan karena menyalahi praktik generasi salaf dan khawatir menjadi ajang kebanggaan dan pamer. Sebaliknya yang dituntut adalah memberikan aqiqah itu kepada setiap orang di tempat mereka, tapi kalau dilaksanakan dalam bentuk walimah, maka itu mencukupi (sah).” (Syekh An-Nafrawi Al-Maliki, Al-Fawākih Al-Dānī, Juz I, hlm. 606). 

Berdasarkan dua kutipan di atas, jelaslah bahwa mengadakan walimah dalam rangka aqiqah, yaitu membagikan daging aqiqah dengan mengundang orang-orang ke rumah rumah shohibul hajat untuk makan-makan daging aqiqah, hukumnya boleh tapi disertai kemakruhan. Imam Ibnu Qudamah mengatakan : 

وَإِنْ طَبَخَهَا وَدَعَا إِخْوَانَهُ فَأَكَلُوهَا فَحَسَنٌ 

"Jika orang yang beraqiqah itu memasak daging aqiqahnya, lalu mengundang saudara-saudaranya (sesama muslim), maka itu baik.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarah Al-Kharqi, Juz VIII, hlm. 31). 

Namun demikian, yang lebih baik (afdhol) adalah membagikan aqiqah itu dengan cara mengirim daging aqiqah ke rumah masing-masing warga, bukan mengundang mereka ke rumah shohibul hajat untuk makan-makan aqiqah. Dalam kitab Hāsyiyah I’ānah Al-Thālibīn, disebutkan : 

وَيَطْبُخُ لَحْمَهَا وَيُبْعَثُ بِهِ إِلَى الْفُقَرَاءِ وَهُوَ أَحَبُّ مِنْ نِدَائِهِمْ عِنْدَ بَيْتِهِ، وَذَلِكَ لِقَوْلِ عَائِشَةَ إِنَّهُ سُنَّةٌ 

“Memasak daging aqiqah dan mengirimkannya kepada kaum fuqara` lebih disukai daripada mengundang mereka ke rumahnya orang yang melaksanakan aqiqah (shohibul hajat), hal ini berdasarkan pendapat ‘Aisyah RA bahwa yang demikian itu (membagikan daging aqiqah) adalah sunnah.” (Hāsyiyah I’ānah Al-Thālibīn, Juz II, hlm. 382).   

Kesimpulannya, mengadakan aqiqah dalam bentuk walimah, yaitu mengundang orang-orang untuk hadir ke rumah shohibul hajat dan makan-makan masakan aqiqah, hukumnya makruh (kurang baik). Alasan kemakruhannya karena dikhawatirkan walimah ini dapat menjadi ajang kebanggaan atau pamer kekayaan kepada masyarakat. Berarti jika alasan kemakruhan ini tidak ada, hukumnya baik (hasan), yakni boleh-boleh saja, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Qudamah. Namun, yang lebih afdhol adalah membagikan aqiqah itu dengan cara mengirim daging aqiqah (lebih baik yang sudah dimasak) ke rumah masing-masing warga. Wallāhu a’lam. 

Bandung, 13 Januari 2024 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi 

Referensi : 

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/64796/أقوال-العلماء-في-جعل-العقيقة-وليمة



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer 

Sabtu, 23 Desember 2023

Syirkah Mudharabah dengan Membayar Orang untuk Menjadi Pengelola


Tanya : 

Tinta Media - Ketika saya akad syirkah Mudharabah dengan orang di bidang kuliner namun yang jaga tempat itu orang lain bukan saya sendiri, kami sepakat pemberian modal (Investor) dan saya sebagai pengelola untuk membayar orang untuk menjaga stand tersebut. Apakah ini dibenarkan ustadz? 

Jawab : 

Dalam syirkah setiap orang posisi dan tanggung jawabnya harus jelas, jika sebagai investor maka tanggung jawabnya sebatas pada modal, dan jika pada pengelola maka tanggung jawabnya secara keseluruhan pengelolaan bisnisnya, termasuk menjaga tempat itu bagian dari pengelolaan bisnis, hukum asalnya yang berkewajiban menjaga tempat atau urusan pengelolaan lainnya adalah yang diberi amanah untuk mengelola, jika sudah kewalahan atau tidak sanggup mengelola semua hal terkait bisnisnya boleh mengangkat karyawan dengan akad ijarah (gaji) untuk membantu pekerjaan pengelola, dan ini mesti terlaporkan atau diketahui investor karena gajinya menggunakan uang pemodal sebagai bagian dari biaya operasional. 

Singkatnya, kalau yang jaga tersebut statusnya karyawan boleh saja, tapi kalau statusnya mewakili/membantu pekerjaan pengelola secara pribadi maka hukumnya tidak boleh alias haram. Karena amanah pengelolaan tidak boleh diwakilkan lagi kepada orang lain. Allahu a'lam. 

Oleh: Dwi Condro Triono, Ph.D
Pakar Ekonomi Islam

Kamis, 14 Desember 2023

HUKUM MEMBUAT KALENDER BERGAMBAR CALEG



Tanya :
Tinta Media - Afwan mau bertanya Ustadz. Jadi ada yang mau kasih saya project cetak kalender, hanya saja kalender Caleg, apakah jika project ini saya ambil masuk dalam kategori ta’āwun dalam kemaksiatan Ustadz? (Hamba Allah). 

Jawab :
Wa ‘alaikumu salam wr. wb. Tidak boleh hukumnya Anda mengerjakan proyek tersebut, karena pembuatan kalender dengan gambar Caleg (Calon Anggota Legislatif), termasuk kategori ta’āwun (tolong menolong) dalam dosa, sesuai firman Allah SWT : 

وتعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ 

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maidah : 2). 

Padahal sistem demokrasi itu sendiri hukumnya haram untuk diterapkan, sesuai penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum sebagai berikut : 

الدِّيمُقْرَاطِيَّةُ نِظَامُ كُفْرٍ يَحْرُمُ أَخْذُهَا أَوْ تَطْبِيقُهَا أَوْ الدَّعْوَةُ إِلَيْهَا 

“Demokrasi adalah sistem kufur, haram hukumnya mengadopsinya, menerapkannya, dan mempropagandakannya.” (Abdul Qadim Zallum, Al-Dīmūqrāthiyyah Nizhām Kufr Yahrumu Akhdzuhā Aw Tathbīquhā Aw Al-Da’watu Ilayhā, hlm. 21-22). 

Keharaman demokrasi dikarenakan demokrasi itu mempunyai prinsip yang berbunyi “kedaulatan di tangan rakyat” (Arab : Al-Siyādah li Al-Sya’bi, Eng : The Sovereignty Belongs to The People), yang maknanya adalah adanya hak membuat hukum di tangan manusia. Padahal Islam menegaskan bahwa yang berhak membuat hukum, hanyalah Allah SWT semata, manusia tidak boleh membuat hukum sama sekali. Jika manusia membuat hukum, hukum itu dalam Al-Qur`an dinamakan “Hukum Jahiliyyah” atau “Hukum Thaghut”. 

Dalam Islam, hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum, sesuai firman-Nya : 

اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ 

“Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’ām : 57). 

Maka dari itu, jika manusia membuat hukum, yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti fungsi legislasi saat ini dalam sistem demokrasi, hukumnya haram. Hukum yang dihasilkan dari legislasi tersebut, di dalam Al-Qur`an disebut sebagai “Hukum Jahiliyyah” atau “Hukum Thaghut”. 

Allah SWT berfirman : 

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ 

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Mā’idah : 50). 

Allah SWT berfirman : 

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا 

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisā` : 60). 

Orang yang membuat hukum yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti melakukan perbuatan haram, dan secara agama, telah murtad (keluar dari agama Islam), jika dia mengingkari ayat Al-Qur`an yang dengan tegas (qath’ie) menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak membuat hukum (QS Al-An’ām : 57, dsb). Firman Allah SWT : 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ 

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS Al-Mā`idah : 45). 

Adapun jika orang yang membuat hukum yang yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah itu, masih beriman kepada Al-Qur`an, yaitu tidak mengingkari ayat Al-Qur`an yang dengan tegas (qath’ie) menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak membuat hukum (QS Al-An’ām : 57, dsb), maka dia tidak dapat dikafirkan dan tidak dapat pula dikatakan telah murtad, meskipun tetap dia tidak bisa lepas dari dosa, karena dalam Al-Qur`an, mereka ini disebut sebagai “orang zalim” atau “orang fasik”. 

Firman Allah SWT : 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ 

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS Al-Mā`idah : 45). 

Firman Allah SWT : 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الفَاسِقُوْنَ 

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS Al-Mā`idah : 47). Wallāhu a’lam. 

Bandung, 10 Desember 2023 

Oleh : KH M. Shiddiq Al-Jawi 
Pakar Fiqih Mu’amalah dan Kontemporer

Rabu, 13 Desember 2023

SEPUTAR ISTILAH NASHRANI, YAHUDI, DAN AHLI KITAB

Tinta Media - Tanya : 
Ustadz, mohon dijelaskan masing-masing istilah Nashrani, Yahudi, dan Ahlul Kitab? Dan mohon dijelaskan sebagian hukum syara’ yang terkait dengan istilah Ahlul Kitab. (Hamba Allah). 
 
Jawab : 

Akan dijelaskan dulu istilah Ahli Kitab (Arab: Ahlul Kitāb), sebagai kategori umum, baru kemudian akan dijelaskan masing-masing istilah Yahudi dan Nashrani sebagai istilah yang lebih khusus sebagai bagian dari istilah Ahli Kitab yang lebih umum. 

Kami akan menggunakan istilah Ahli Kitab, bukan Ahlul Kitāb, karena istilah Ahli Kitab ini lebih popular dan familiar bagi kita karena digunakan secara baku dalam buku Al-Qur`an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Istilah Ahli Kitab ini berasal dari istilah Bahasa Arab Ahlul Kitāb (أَهْلُ الْكِتَابِ). Kata “ahli” dalam istilah Ahli Kitab ini, jangan disalahpahami sebagai orang yang ahli (pakar, expert), sehingga Ahli Kitab lalu diartikan secara salah sebagai orang yang ahli (expert) mengenai suatu kitab. Ini tidak benar. Kata “ahli” dalam istilah Ahli Kitab, artinya dalam Bahasa Arab adalah shāhib ( صَاحِبٌ) atau si pemilik. Jadi Ahli Kitab secara makna Bahasa Arab (ma’na lughawi) artinya adalah Pemilik Kitab, bukan orang yang pakar mengenai kitab. Dalam Bahasa Inggris, istilah Ahli Kitab diterjemahkan sebagai The People of Book. 

Ahli Kitab menurut istilah syariah (ma’na syar’i), adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani, dengan berbagai macam aliran (denominasi)-nya. Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan : 

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ ( أَهْلَ الْكِتَابِ ) هُمْ : الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بِفِرَقِهِمْ الْمُخْتَلِفَةِ 

“Jumhūr (mayoritas) ulama berpendapat bahwa Ahli Kitab itu adalah orang-orang Yahudi dam Nashara dengan berbagai firqah (aliran)-nya yang bermacam-macam.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/140). 

Jumhūr (mayoritas) ulama yang dimaksud adalah ulama dari 3 (tiga) mazhab fiqih, yaitu ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Adapun ulama dari mazhab Hanafi (Arab: Hanafiyyah), memperluas pengertian Ahli Kitab tersebut sehingga mencakup siapa saja yang beriman kepada sebuah kitab yang diturunkan Allah dan mengakui seorang nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka. Dengan definisi dari ulama Hanafiyyah ini, berarti Ahli Kitab tak hanya mencakup kaum Yahudi dan Nashrani, melainkan juga mencakup kaum yang beriman kepada kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud AS, dan kaum juga kaum yang beriman kepada Shuhuf yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim AS. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/140). 

Namun pendapat yang lebih kuat (rājih), adalah pendapat jumhur ulama, yang membatasi Ahli Kitab hanya kepada kaum Yahudi dan Nashrani, sehingga tidak mencakup yang lainnya sebagaimana pendapat ulama Hanafiyyah, dengan dalil firman Allah SWT : 

اَنۡ تَقُوۡلُـوۡۤا اِنَّمَاۤ اُنۡزِلَ الۡـكِتٰبُ عَلٰى طَآٮِٕفَتَيۡنِ مِنۡ قَبۡلِنَا ۖ وَاِنۡ كُنَّا عَنۡ دِرَاسَتِهِمۡ لَغٰفِلِيۡنَۙ 

“(Kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan,”Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami (Yahudi dan Nasrani), dan kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS. Al-An’ām : 156). 

Jadi, Ahli Kitab intinya adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani. Dalam Bahasa Ara, kata Al-Yahūdiyyu ( اَلْيَهُوْدِيُّ ) (Eng : Jew) merupakan kata tunggal (mufrad, singular) yang artinya adalah satu orang penganut agama Yahudi. Bentuk jamak (plural) dari kata Al-Yahūdiyyu ( اَلْيَهُوْدِيُّ ) adalah al-yahūdu ( اَلْيَهُوْدُ ) (Eng : Jews) yang artinya adalah para penganut agama Yahudi (Arab : atbā’ al-diyānah al-yahūdiyyah). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 485). 

Adapun istilah Nashrani, artinya adalah orang menganut agama Kristen (Arab: man dāna bi dīni al–nashrāniyyah, Eng : Christianity), yaitu agama yang aslinya diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi ‘Isa AS. Dalam Bahasa Arab, kata Nashrāniy ( اَلنَّصْرَانِيُّ ) (Eng : Christian) artinya adalah satu orang penganut agama Kristen. Kata Nashrāniy ( اَلنَّصْرَانِيُّ ) ini adalah kata tunggal (mufrad, singular). Bentuk jamaknya (plural) dari kata Nashrani itu, adalah Nashārā ( اَلنَّصَارَى ) yang berarti para penganut agama Kristen (Eng : Christians). Menurut Syekh Rawwas Qal’ah Jie, kata Nashrāniy ( اَلنَّصْرَانِيُّ ) itu dinisbatkan kepada kata Nashrān ( نَصْرَانُ ) atau Nāshirah ( نَاصِرَةُ ), yang dalam Bahasa Inggris diucapkan Nazareth (Heb. נָצְרַת), sebuah tempat bersejarah di Palestina, sebagai tempat Nabi ‘Isa AS dibesarkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 451). 

Dalam Aqidah Islam, kaum yang disebut Ahli Kitab ini, yang terdiri dari kaum Yahudi dan Nashrani, bersama kaum musyrikin, terkategori kaum kafir atau non muslim, yaitu tidak beragama Islam, yang akan masuk neraka Jahannam, sesuai firman Allah SWT : 

اِنَّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡ اَهۡلِ الۡكِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِكِيۡنَ فِىۡ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَا ‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ هُمۡ شَرُّ الۡبَرِيَّةِ 

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.” (QS Al-Bayyinah : 6). 

Rasulullah SAW juga telah bersabda : 

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ 

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik orang Yahudi maupun orang Nashrani yang mendengar tentang aku, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya (Islam), kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim, Shahīh Muslim, no. 218). 

Meskipun kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) dengan kaum musyrikin sama-sama terkategori kaum kafir (non muslim), namun ada perbedaan di antara keduanya dari segi hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan mereka dengan umat Islam. Misalnya, hukum yang terkait dengan pernikahan atau sembelihan. 

Sebagai contoh, sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan oleh kaum muslimin, sedangkan sembelihan kaum musyrik haram dimakan oleh kaum muslimin (lihat QS. Al-Mā`idah [5] : 5). Contoh lain, laki-laki muslim dibolehkan menikah dengan perempuan Ahli Kitab (Arab : Kitābiyyah), yaitu perempuan yang beragama Yahudi atau Nashrani, namun laki-laki muslim itu diharamkan menikahi perempuan musyrik, misalnya kaum Majusi (penyembah api). Firman Allah SWT : 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ 

”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara wanita-wanita yang beriman (muslimah) dan wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu (Ahli Kitab).” (QS Al-Mā`idah [5] : 5). 

Berdasarkan dalil ayat tersebut, para fuqaha dari berbagai mazhab –di antaranya adalah fuqaha dari mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad– telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (Kitābiyyah). 

Hanya saja, meskipun Imam Syafi’i –rahimahullāh– termasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyīd), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan keturunan Bani Israil, bukan yang lain. 

Jika perempuan Ahli Kitab itu bukan keturunan Bani Israil, misalnya perempuan Arab, atau perempuan Indonesia, yang menganut agama Yahudi atau Nashrani, maka menurut Imam Syafi’i dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya. (Imam Al-Baihaqi, Ahkāmul Qur`ān, 1/187, Beirut : Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1975). 

Pendapat Imam Syafi’i tersebut dalam nash (teks) yang asli dari Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubrā (7/173) adalah sebagai berikut : 

وَأَهْلُ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ الْمَشْهُورَيْنَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَهُمُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ دُوْنَ الْمَجُوْسِ 

“Dan Ahli Kitab yang halal hukumnya menikahi wanita-wanita merdekanya, adalah Ahli [Pemilik] Dua Kitab yang masyhur, yaitu Taurat dan Injil. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani dari Bani Israil, bukan dari orang Majusi.” (Imam Al-Baihaqi, Ahkāmul Qur`ān, 1/187, Beirut : Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1975). 

Adapun dalil yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i untuk pendapatnya tersebut, tercantum dalam kitabnya Al-Umm (Juz III, hlm. 7) dengan bersandar pada beberapa khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir (w. 310 H), di antaranya khabar dari ‘Athā` yang berkata : 

لَيْسَ نَصَارَى الْعَرَبِ بِأَهْلِ كِتَابٍ وَإِنَّمَا أَهْلُ الْكِتَابِ بَنُو إِسْرَائِيلَ الَّذِينَ جَاءَتْهُمْ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ .فَأَمَّا مَنْ دَخَلَ فِيهِمْ مِنْ النَّاسِ فَلَيْسُوا مِنْهُمْ 

“Orang-orang Nashrani Arab bukanlah Ahli Kitab. [Karena] Ahli Kitab itu hanyalah orang-orang Bani Israil yang datang kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Adapun siapa saja yang masuk ke dalam golongan mereka [menjadi penganut Yahudi dan Nashrani] dari kalangan manusia [bukan Bani Israil], maka mereka itu tidaklah termasuk golongan mereka [Ahli Kitab].” (Nūruddin ‘Ādil, Mujādalatu Ahlil Kitāb fī Al-Qur`ān Al-Karīm wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 79; Riyādh : Maktabah Al-Rusyd, 2007). 

Berdasarkan riwayat seperti itulah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa siapa saja orang non Bani Israil yang beragama dengan agama Ahli Kitab yang kepada mereka diturunkan Taurat dan Injil, maka mereka itu adalah Ahli Kitab sekedar nama, bukan Ahli Kitab yang hakiki. (Imam Al-Baihaqi, Ahkāmul Qur`ān, 2/57, Beirut : Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1975). 

Pendapat Imam Syafi’i tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama pengikut madzhab Syafi’i selanjutnya, seperti Imam Al-Khathib Al-Syarbaini penulis kitab Mughnī Al-Muhtāj (3/187) dan Imam Nawawi penulis kitab Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab (2/44). 

Pendapat mazhab Syafi’i ini, sebagaimana penjelasan dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, intinya adalah bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrīf). 

Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrīf), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka tersebut. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 9/147). 

Pendapat yang rājih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil. Inilah yang kami rājih-kan, berdasarkan 3 (tiga) dalil sebagai berikut : 

Pertama, karena dalil-dalil syar’i yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, yaitu dalil yang tanpa taqyīd (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. 

Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi Kitābiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus dari kalangan Bani Israil. Firman Allah SWT : 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ 

”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara wanita-wanita yang beriman (muslimah) dan wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu (Ahli Kitab).” (QS Al-Mā`idah [5] : 5). 

Ayat di atas adalah ayat yang bermakna mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan muhshanāt yang diberi Al-Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung atau menyebut sama sekali sifat atau syarat mereka, bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil. Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan bahwa : 

الْمُطْلَقِ يَجْرِي عَلَى إِطْلَاقِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ يَدُلُّ عَلَى التَّقْيِيدِ 

“Al-muthlaqu yajriy ‘alā ithlāqihi ma lam yarid dalilun yadullu ‘ala al-taqyīd.” (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushūl Al-Fiqh Al-Islāmiy, 1/208). 

Kemutlakan dalil inilah yang dijadikan dasar oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili untuk menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafi’i. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata : 

وَالرَّاجِحُ لَدَيَّ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، لِإِطْلَاقِ الْأَدِلَّةِ الْقَاضِيَةِ بِجَوَازِ الزَّوَاجِ بِالْكِتَابِيَّاتِ، دُونَ تَقْيِيدٍ بِشَيْءٍ 

“Pendapat yang rājih (lebih kuat) bagi saya adalah pendapat jumhūr, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang menetapkan bolehnya menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, tanpa ada taqyīd (pembatasan, persyaratan) dengan sesuatu (syarat).” (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, 9/147). 

Dengan ini jelaslah bahwa Ahli Kitab itu tidak hanya dari keturunan Bani Israil saja, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi dan Nashrani baik dia keturunan Bani Israil maupun bukan keturunan Bani Israil. 

Kedua, karena tindakan Rasulullah SAW (af’āl rasūlullah) dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahli Kitab adalah agamanya, bukan keturunannya (yakni dari keturunan Bani Israil). 

Jadi, kaum Ahli Kitab itu tetap dipungut jizyah, tanpa melihat lagi apakah nenek moyang mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/Nashrani kitabnya masih asli ataukah sudah mengalami perubahan (tahrīf). Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah telah menjelaskan hal itu dalam kitabnya Zādul Ma’ād (3/158) sebagai berikut : 

الْعَرَبُ أُمَّةٌ لَيْسَ فِيهَا فِي الْأَصْلِ كِتَابٌ، وَكَانَتْ كُلُّ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ تَدِينُ بِدِينِ مَنْ جَاوَرَهَا مِنْ الْأُمَمِ …فَأَجْرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْكَامَ الْجِزْيَةِ ، وَ لَمْ يَعْتَبِرْ آبَاءَهُمْ وَلَا مَنْ دَخَلُوا فِي دِينِ أَهْلِ الْكِتَابِ : هَلْ كَانَ دُخُولُهُمْ قَبْلَ النَّسْخِ وَالتَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَهُ 

 “Orang Arab adalah suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-umat yang berdekatan dengan mereka…Maka Rasulullah SAW memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan Rasulullah SAW tidak mempertimbangkan nenek moyang mereka, juga tidak [mempertimbangkan] orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahli Kitab : apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya penghapusan (nasakh) [dengan turunnya Al-Qur`an] dan penggantian (tabdīl) [tahrīf terhadap Taurat dan Injil] ataukah sesudahnya.” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Zādul Ma’ād, 3/158. Lihat Nūruddin ‘Ādil, Mujādalatu Ahlil Kitāb fī Al-Qur`ān Al-Karīm wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 80; Riyādh : Maktabah Al-Rusyd, 2007). 

Atas dasar itu, orang yang tergolong Ahli Kitab itu tidak dilihat lagi nenek moyangnya, apakah ketika mereka masuk ke agama Yahudi atau Nashrani kitab mereka masih asli, ataukah sudah mengalami perubahan (tahrīf), ataukah ketika sudah diturunkan Al-Qur`an. Maka dari itu, orang-orang pada masa sekarang, yaitu yang hidup setelah diturunkannya Al-Qur`an, jika menganut agama Yahudi atau Nashrani, juga digolongkan sebagai Ahli Kitab. 

Ketiga, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun untuk pertama kalinya pada masa hidupnya Rasulullah SAW dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani, sudah menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka itu. Padahal kitab mereka pada saat itu, pada zaman Rasulullah SAW, sudah mengalami perubahan (tahrīf) dari kitabnya yang asli, dan mereka pun bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang masih murni/asli. Misalnya firman Allah SWT : 

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيلَ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ 

“Katakanlah [Muhammad],’Wahai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur`an yang diturunkan kepadamu [Muhammad] dari Tuhanmu.” (QS Al-Mā`idah [5] : 68). 

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Tetapi meski demikian, mereka itu tetap disebut “Ahli Kitab” di dalam Al-Qur`an. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Al-Qur`an banyak. (Nūruddin ‘Ādil, Mujādalatu Ahlil Kitāb fī Al-Qur`ān Al-Karīm wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 80; Riyādh : Maktabah Al-Rusyd, 2007). 

Dengan demikian, istilah “Ahli Kitab” sejak awal memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang sudah menyimpang dan tidak lagi menjalankan ajaran Taurat dan Injil secara lurus. Jadi, istilah “Ahli Kitab” bukan ditujukan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya atau yang masih lurus dalam menjalankan agamanya. 

Maka dari itu, tidak benar anggapan bahwa saat ini sudah tak lagi Ahli Kitab dengan alasan istilah “Ahli Kitab” ditujukan untuk orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya. Pendapat ini tidak benar. 

Berdasarkan tiga dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan dari Bani Israil, baik nenek moyang mereka masuk agama Yahudi dan Nashrani ketika kitabnya masih asli, maupun ketika kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrīf), baik sebelum diturunkannya Al-Qur`an maupun sesudah diturunkannya Al-Qur`an. 

Namun yang perlu kami tegaskan, sesuatu yang mubah (dibolehkan syariah) itu jelas bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah), atau yang diharuskan (wajib). Bahkan perkara yang hukumnya mubah, pada kasus-kasus tertentu dapat diharamkan secara syar’i jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Hal ini sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani –rahimahullāh– sebagai berikut : 

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حَرُمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ الْأَمْرُ مُبَاحًا 

“Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 3/456). 

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, pada kasus tertentu, haram hukumnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, jika terbukti berbahaya atau dapat membawa kepada bahaya bagi laki-laki itu secara khusus. Misalnya, laki-laki muslimnya lemah dalam beragama, sedang perempuan Ahli Kitabnya seorang misionaris Kristen atau Katolik yang sangat kuat beragama dan kuat pula pengaruhnya kepada orang lain. 

Maka dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya laki-laki muslim tersebut menikahi perempuan Ahli Kitab ini, karena diduga kuat laki-laki muslim itu akan dapat terseret menjadi murtad dan mengikuti agama istrinya, atau diduga kuat perempuan itu akan dapat mempengaruhi agama anak-anaknya sehingga mereka menjadi pengikut Nashrani. Na’ūzhu billāhi min dzālik. 

Namun pada saat yang sama, hukum bolehnya laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab tetaplah ada, dan tidak lenyap. Hukum ini dapat diberlakukan misalnya untuk laki-laki muslim yang sangat kuat beragama, misalnya ulama, atau mujtahid, atau mujahid, yang menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan rakyat negara Khilafah. Seperti halnya dahulu, ketika sebagian shahabat Nabi SAW menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Ahludz Dzimmah khususnya setelah terjadi penaklukan (futūhāt) di berbagai negeri. 

Misalnya Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu— yang pernah menikahi seorang perempuan Nashrani bernama Na`ilah, yang kemudian masuk Islam di bawah bimbingan beliau. Hudzaifah bin Al-Yaman RA juga pernah menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk Al-Mada`in. Jabir bin Abdillah RA pernah ditanya mengenai laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Nashrani. Jabir bin Abdillah RA menjawab,”Dahulu kami dan Sa’ad bin Abi Waqqash pernah menikahi mereka (perempuan Yahudi dan Nashrani) pada saat penaklukan Kufah.” (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, 9/145). 

Kesimpulannya, seorang laki-laki muslim hukum asalnya mubah menikahi perempuan Ahli Kitab, yaitu Perempuan yang beragama Yahudi atau Nashrani. Namun dalam kasus tertentu, hukumnya menjadi haram jika pernikahan itu dapat menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), sedang hukum asalnya tetap mubah. Wallāhu a’lam. 

Bandung, 10 Desember 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi 
  
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi 
Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer 


Referensi : HUKUM LAKI-LAKI MUSLIM MENIKAHI PEREMPUAN AHLI KITAB
http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_umum/33
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab